Menguak Peradaban Atlantis Yang Mengguncang Dunia Akademis

atlantis
Buku Hilangnya Benua Atlantis. (istimewa)

SEJARAH, WartaJombang.com — Atlantis yang disebut – sebut sebagai pusat peradaban dunia sangat menarik untuk dibahas. Hingga sekarang peradaban Atlantis masih menjadi misteri.

Menurut buku sejarah budaya Jombang, kita dihadapkan pada buah simalakama tentang Atlantis. Pendapat Prof. Arysio Santos mengerucut pada wilayah Indonesia sebagai lokasi benua yang hilang. Ada kebanggaan memang, namun di sisi lain belum terbuktikan secara nyata.

Bacaan Lainnya

Pendapat mengejutkan itu tentu banyak yang menentangnya. Meyakininya seratus persen mungkin sangat berlebihan, namun menolak mentahmentah merupakan sebuah kesembronoan.

Belakangan ini semakin banyak yang meyakini, bahwa Atalantis itu Indonesia masa lalu, Java Nusantara, atau Sundaland. Banyak yang sudah menulis artikel, buku, bahkan novel. Ini menandakan rasa ingin tahu yang kian meningkat.

Banyak juga yang meyakini, bahwa penulisan sejarah tidak lepas dari kepentingan yang sedang berkuasa. Dengan kenyataan Indonesia dijajah oleh Belanda selama 350 tahun, tentu sarat dengan kepentingan Belanda, yang notabene adalah bangsa kulit putih. Kejujuran intelektual sulit kita dapatkan seratus persen. Namun, kita tetap bisa mencari celah-celah kebenaran.

Benua yang hilang itu menjadi daya tarik. Mitos Peradaban Atlantis yang pertama kali diungkapkan oleh seorang filusuf Yunani kuno yaitu Plato (427 — 347 SM) dalam buku Critias dan Timaeus. Penelitian mutakhir dilakukan oleh Arysio Santos selama 30 tahun. Ia menghasilkan buku Atlantis, The Lost Continent Finally Found, The Definitifve Localization of Plato’s Lost Civilization (2005).

Geolog dan Fisikawan Nuklir dari Brazil ini melakukan penelitian multidisiplin dalam waktu 30 tahun. Yang menarik adalah banyaknya kesamaan dalam hal cerita mistis mengenai asalusul serta ilmu pengetahuan dan kebudayaan di hampir semua peradaban di muka bumi. la menyampaikan sebanyak 33 perbandingan, tentang luas wilayah, cuaca, kekayaan alam, gunung berapi, dan cara bertani.

Pada akhirnya ia menyimpulkan bahwa Atlantis itu adalah Indonesia. Sistem terasering sawah yang khas Indonesia, adalah tonggak yang mengilhami arsitektur Candi Borobudur, Piramida Mesir, dan bangunan Aztec di Meksiko.

Merujuk penelitian Santos, pada masa puluhan ribu tahun yang lalu wilayah Indonesia merupakan suatu benua yang menyatu. Tidak terpecah-pecah dalam puluhan ribu pulau seperti halnya sekarang.

Santos menetapkan bahwa pada masa lalu itu Atlantis merupakan benua yang membentang dari bagian selatan India, Sri Lanka, Sumatera, Jawa, Kalimantan, terus kearah timur dengan Indonesia sebagai pusatnya.

Penduduk Atlantis banyak yang ikut tenggelam, namun yang tertinggal banyak yang merasa tidak aman dan nyaman, maka mereka melakukan migrasi ke wilayah yang lebih aman.Yang termasuk imigran awal adalah bangsa Yahudi, Funisia, Arya, bahkan Indian Amerika. Semuanya terusir oleh alam.

Semula sebagian para imigran ini berniat tinggal di India dan Asia Tenggara, namun mereka terusir oleh penduduk lokal. Mereka akhirnya didesak untuk pindah ke Cina dan Mongolia, dan bertempat tinggal sampai sekarang. Sementara yang berhasil tinggal di India, mengembangkan kebudayaan asli Java Nusantara atau Atlantis, termasuk cerita Ramayana dan Mahabarata.

Baru pada 9.000 tahun kemudian, yaitu pada 2.000 tahun sebelum Masehi sebagian mereka kembali ke Indonesia sebagai bangsa dari rumpun Austronesia. Sebenarnya mereka bukan bangsa pendatang, tetapi serumpun bangsa yang kembali ke bumi nenek moyangnya, yaitu Java Nusantara atau Indonesia.

Prof. Dr. H. Priyatna Abdurrasyid, Ph.D., Direktur Kehormatan International Institute of Space Law (IISL) ParisPrancis mengatakan bahwa Indonesia adalah wilayah yang dianggap sebagai ahli waris Atlantis.

Hal ini tentu harus membuat kita bersyukur, membuat kita tidak rendah diri di dalam pergaulan internasional, sebab Atlantis pada masanya ialah pusat peradaban dunia.

Namun sebagai wilayah yang rawan bencana, sebagaimana telah dialami oleh Atlantis itu, sudah saatnya kita belajar dari sejarah dan memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan mutakhir agar dapat mengatasinya. (pra)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *