Mengenal Bupati Jombang Kedua R.A.A. Setjoadiningrat (1930 – 1946)

bupati jombang kedua
Bupati Jombang kedua R.A.A. Setjoadiningrat (1930-1946)

SEJARAH, WartaJombang.com — Bupati Jombang kedua R.A.A. Setjoadiningrat menjabat selama kurun waktu 16 Tahun sejak 1930 hingga 1946. R.A.A. Setjoadiningrat dikenal sebagai Bupati Pejuang Kemerdekaan.

Menurut buku sejarah dan budaya Jombang, Raden Ayu Poppy Kadarin ini sangat terkenal sebagai istri bupati yang menjunjung tinggi pengabdian, baik kepada suami maupun bangsa dan negara. Hal ini tidak mengherankan karena beliau masih keturunan dr. Abdul Kadir selaku dokter pribadi Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

Bacaan Lainnya

Dengan istri pertama beliau dikaruniai enam putra-putri: Raden Panji Willy Soedjono, Raden Edi Soewondo, Raden Ayu Ani Rochani, Raden Ayu Nora Soetarinah, Raden Poegoeh Soeratno, dan Raden Ayu Mimik Soeseni. Sedangkan dengan Raden Ayu Poppy Kadarin, Kanjeng Setjo dikaruniai dua anak.

Kanjeng Bupati Setjoadiningrat dikenal sebagai sosok bupati pejuang. Selama kepemimpinan beliau dihabiskan untuk perjuangan, karena kurun waktu 1930 hingga 1946 merupakan puncak dinamika perjuangan bangsa Indonesia. Matangnya kesadaran kebangkitan nasional berpuncak pada digelarnya Sumpah Pemuda.

Sepuluh tahun masa kepemimpinan awal beliau, berlangsung dialektika dalam rangka memaknai Sumpah Pemuda. Pada saat itu merebak perdebatan antar anak bangsa, yang terwarnai tiga pemikiran utama.

Pertama adalah kelompok pemuda yang berpendapat, bahwa peradaban bangsa kita telah ketinggalan jauh. Pada saat itu, bangsa yang maju adalah bangsa barat. Kalau kita ingin Nengejar ketertinggalan, haruslah memiliki pemikiran, sikap, dan perilaku seperti orang barat. Ciri menonjol dari bangsa barat adalah intelektualis, materialis, dan dinamis.

Kedua kelompok pemuda yang cenderung berpendapat, bahwa keberadaan kita ini adalah sebagai bangsa timur. Kita tidak boleh tercerabut dari akar budaya ketimuran yang bercirikan Spiritualis dan agamis, karena habitat sosial budaya kita tidak sesuai dengan pikiran kebarat-baratan.

Ketiga kelompok pemuda yang memiliki kecenderungan tidak harus memilih ke timur atau ke barat. Peradaban timur maupun barat memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Kalau kita berorientasi semata-mata ke barat, tidak mungkin kita mampu mengejar ketertinggalan, karena kita menggunakan kendaraan yang sama dengan mereka, sehingga jarak yang sudah membentang tidak mungkin terkejar.

Sementara kalau kita berorientasi semata-mata ke timur, tidak mungkin juga kita mengejar ketertinggalan, bahkan bisa-bisa semakin jauh tertinggal. Oleh karena itu kita tidak perlu memilih salah satu, Apa yang baik di timur tetap kita pakai, karena itu akar budaya yang membuat kita tetap tersambung dengan habitat. Begitu juga apa yang baik dari barat, jangan kita tolak, justru ambil dan kembangkan. Dengan begitu baru kita bisa melesat mengejar ketertinggalan.

Bupati Setjoadiningrat beranggapan, bahwa perdebatan itu memang harus berlangsung untuk mematangkan pemikiran warganya, terutama kaum muda. Sementara itu Raden Setjo memilih fokus pada pembangunan perkebunan. Pengairan pada waktu itu sangat mudah diperoleh, karena hutan-hutan di pegunungan Wonosalam masih terjaga. Fokus perhatian Kanjeng Setjo terutama pada perkebunan karet dan tebu. Karena permintaan pasar dunia mengarah pada dua komoditas tersebut.

Pada dekade berikutnya mulai merebak-menggencar nuansa revolusi fisik seiring dengan pecahnya Perang Dunia II. Masa itu di Indonesia pendudukan Jepang berlangsung, namun dalam tiga setengah tahun berhasil dipupusproklamasi kemerdekaan, sementara di lain pihak Belanda ingin kembali berkuasa di Indonesia.

Pada masa kepemimpinan beliaulah pahlawan budaya kita gugur di kekejaman tangan kaum penjajah. Cak Durasim, tokoh ludruk dari Kaliwungu yang mencari peruntungan ngludruk di Surabaya harus kehilangan nyawa. Hanya karena parikan kritisnya, Cak Durasim dianggap sebagai ancaman terhadap keberadaan pemerintah kolonian Jepang.

Parikan yang terkenal itu adalah “Bekupon omahe dara, melok Nippon tambah sangsara.” Syukurlah penghargaan pemerintah kepada pahlawan budaya ini cukup membanggakan. Patung Cak Durasim terpampang di depan Gedung Kesenian Cak Durasim di Taman Budaya Jawa Timur Jl. Gentengkali 85 Surabaya.

Perubahan konstelasi politik dan militer pada sekitar tahun 1941 terjadi cukup signifikan dengan beralihnya peta kekuatan dari Barat yang dikomandoi negara-negara Eropa dan Amerika menuju kekuatan Dunia Timur yang diwakili oleh Jepang. Apalagi mimpi Jepang untuk menjadi Imperium Asia Jepang tidak dapat dibendung lagi.

Jepang menganggap bahwa penghalang utama Cita-cita mereka adalah Armada terkuat Amerika Serikat di Pasifik yang berpangkalan di Hawaii, yaitu Peral Harbor. Karena itu disusun rencana serangan rahasia oleh Laksamana Isoroku Yamamoto pada September 1941,

Menurut Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto dalam Sejarah Nasional Indonesia VI: tanggal 28 Februari malam menjelang 1 Maret 1942, tentara ke-16 Jepang berhasil mendarat serentak di tiga tempat, yaitu di Teluk Banten, Eretan Jawa Barat), dan di Kragan (Jawa Tengah). Dari Kragan, Pasukan divisi ke-48 bergerak ke tiga jurusan. Satu kolone Pasukan yang bergerak melalui rute utara tiba di Surabaya pada tanggal 8 Maret 1942. Kolone lainnya bergerak ke arah barat dan berhasil menduduki Semarang. Gerakan ke arah selatan oleh kolone Sakaguchi menuju Cilacap.

Kolone kedua yang menuju arah Surabaya melalui rute utara akhirnya sampai juga ke daerah Kabupaten Jombang. Pada awalnya kedatangan mereka dielu-elukan rakyat terutama kaum muda, karena propaganda Jepang yang terkenal dengan sebutan tiga “A”, yaitu, Jepang Cahaya Asia, Jepang Pemimpin Asia, dan Jepang Pelindung Asia.

Apalagi di kalangan rakyat sangat mempercayai Ramalan Prabu Jayabaya Raja Kediri yang berbunyi, “Akan datang pada suatu masa jago kate dari timur laut berpakaian seperti klaras (daun pisang kering) yang akan membebaskan Nusantara.”

Raden Adipati Arya Setjoadiningrat tetap dipertahankan menjabat Bupati oleh penguasa Jepang. Putera pertama beliau Raden Panji Willy Soedjono mendapat didikan kemiliteran dari balatentara Jepang dengan pangkat Shodanco – setara Letnan. Pilihan berkarir di kemiliteran putera pertama Kanjeng Setjo nantinya diikuti oleh adiknya Raden Edi Soewondo.

Jepang menduduki Indonesia selama tiga setengah tahun berdampak pada keterpurukan kehidupan soaial dan ekonomi. Barang-barang kebutuhan rumah tangga sangat sulit diperoleh. Kalaupun ada harganya melambung tinggi.

Sehingga pernah pemerintah pendudukanJepang, khususnya di Jombang memprovokasi rakyat agar menjarah toko-toko milik etnis Cina. Masa itu adalah kondisi tersulit yang dialami Pemerintahan Kabupaten di bawah Raden Adipati Arya Setjoadiningrat.

Ada satu catatan menarik, Pabrik Gula Sumobito, sekarang menjadi kawasan Medan Bhakti di depan stasiun Sumobito, juga merupakan gudang persediaan berbagai kebutuhan pemerintah Belanda sebelumnya. Dengan menangnya Jepang di belahan timur dunia, maka Gudang di Pabrik Gula Sumobito diserbu masyarakat dari berbagai penjuru Jombang.

Mereka menjarah bermacam-macam barang, mulai bahan makanan (tepung, beras, dan lainnya), bahan sandang (kain, benang), peralatan kanto! (mesin ketik, alat cetak, dan lainnya), sampai persenjataan. Pada saat Jepang datang dan berkuasa, sebagian besar barang jarahan tersebut dikembalikan.

Tidak dengan todongan senjata, namun dengan memanfaatkan keyakinan setempat. Komandan militer Jepang tidak perlu mengacungkan bedill namun cukup menancapkan tongkat bambu di tanah sambil mengultimatum,” Barang siapa dalam 24 jam tidak mengembalikan barang yang dijarah, akan menerima kutukan.” Alhasil berbondong-bondong masyarakat kebanyakan segera mengembalikan barang jarahannya.

Setelah Jepang dikalahkan oleh balatentara Sekutu dan Jawa Timur diduduki kembali oleh Belanda, mantan Residen Surabaya Dr. Van Der Plass mengunjungi Raden Setjo diminta tetap menduduki jabatan Bupati sebagai kepanjangan tangan Belanda.

Peristiwa ini sempat menimbulkan ketidaksenangan kaum Republikan karena mengira Radcn Scetjo anti kemerdekaan. Padahal kesediaan Kanjeng Setjo merupakan strategi mengamankan kemerdekaan. Meskipun beliau terkesan berpihak pada Belanda, namun dukungan kepada perjuangan tetap dijaga dengan tetap menyuplai kebutuhan logistik dan persenjataan para pejuang.

Dalam catatan Buku Biografi Para Bupati Jombang tertulis, bahwa ketika meletus perang secara sporadis di Mojoagung antara tentara Belanda dan para pejuang, pada transisi masa bendudukan Jepang, istri Kanjeng Setjo, Raden Ayu Poppy menggalang aksi dapur umum di belakang Pendopo Kabupaten Untuk mendukung logistik para pejuang.

Setiap lurah di Kabupaten Jombang menyerahkan bahan-bahan makanan dan sayur-mayur untuk kepentingan tersebut. Hampir setiap hari truk-truk sisa pendudukan Jepang digunakan untuk mengangkut logistik ke garis depan pertempuran.

Menjelang masa pensiun dan menjelang era Pepublik Raden Adipati Arya Setjoadiningrat VIII mengabdikan hidupnya sebagai Residen di Surabaya sampai masa pensiun. Sebagaimana ayahanda Raden Adipati Arya Soeroadiningrat, ketika wafat pada tanggal 9 Juni 1963, jenazah Raden Adipati Arya Setjoadiningrat dimakamkan di kompleks pemakaman keluarga di Pu Sampurno, Kecamatan Jombang. (Sumber Utama: Biografi Para Bupati Jombang)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *